And so the adventure begins!
![]() |
Loc: Plawangan Sembalun, Captured by: Bintang Sidqi.
16 Agustus 2017.
Aku dan Vanny sudah sangat siap untuk memulai petualangan kami berdua.
Pagi itu dengan berat hati kami berpisah dengan Indah yang langsung berangkat menuju bandara.
Awalnya aku dan Vanny sempat bingung mengenai transportasi menuju ke Sembalun di kawasan TNGR yang berada di Lombok Timur. Sempat mengecek tarif transportasi online dan harga penyewaan mobil, tapi harganya sangat lumayan kalau hanya untuk berdua, sekitar Rp 300.000,00 untuk Grab Car dan Rp 500.000,00 untuk penyewaan mobil.
Kebetulan aku memiliki kenalan seorang backpacker yang sedang berada di Rumah Singgah Lombok, sebut saja bang Joey, bisa juga search di Instagram namanya @ranselusang. Barangkali membutuhkan guide karena dia juga sering mengantar tamu keliling Indonesia. Sebelumnya aku sudah memberitahu dia kalau aku akan ke Gunung Rinjani. Lalu dia menyarankan untuk transit dulu di Rumah Singgah sebelum berangkat ke Gunung Rinjani. Katanya, dia juga akan berangkat ke Sembalun hari itu dan ingin nge-camp lucu di Danau Segara Anak bersama temannya, bang Ucok. Sehingga kemudian kami berangkat bersama mengggunakan pick up sayur. Aku sangat merekomendasikan pick up sayur ini, jika dibandingkan harus 'ngeteng' naik kendaraan umum ke terminal Aikmel yang jatuhnya memakan waktu lebih lama akan tetapi harganya tidak berbeda jauh. Per orangnya kami hanya dikenakan biaya Rp 75.000,00 untuk bisa sampai langsung ke Sembalun.
Singkat cerita, kami pun tiba di Pos Pendaftaran TNGR jalur Sembalun setelah Dzuhur (kurang lebih sekitar jam 12.00 siang). Disitu kami berpisah dengan Bang Joey dan Bang Ucok, karena mereka akan singgah dulu di basecamp dan baru akan memulai perjalanan keesokan harinya. Aku dan Vanny yang sudah mempunyai target untuk bermalam di Pos 3 sore itu pun tetap melanjutkan perjalanan kami berdua. Setelah aku dan Vanny selesai mengurus Simaksi, Bang Joey kemudian menitipkan kami berdua pada supir pick up untuk diantarkan ke gerbang pendakian Bawak Nao.
Lucunya, saat itu Pak Mahar yang menjadi supir pick up sayur kami sangat terkejut begitu mengetahui kalau kami akan meneruskan perjalanan ke Gunung Rinjani hanya berdua saja. Aku melihat kekhawatiran Pak Mahar seperti melarang anak perempuannya untuk naik gunung. Padahal beliau sendiri selama perjalanan sempat bercerita, kalau beliau pernah menjadi porter di Rinjani sewaktu masa mudanya. Sepanjang perjalanan kami menuju gerbang pendakian, Pak Mahar beberapa kali menatap kami sambil menghela nafas dan kemudian berpesan, "Haduhhh, kalian ini. Pokoknya hati-hati ya, kalau salah satu ada yang buang air, satunya lagi harus ikut menemani. Jangan ditinggal, jangan sampai jalan sendiri. Saya kira kalian bareng laki-laki yang tadi. Ternyata hanya berdua. Ck ck ck.."
Pesan tersebut beliau ucapkan berkali-kali sambil menggelengkan kepala karena tak percaya. (Kebetulan aku dan Vanny duduk di depan dari awal berangkat, sehingga bisa melihat jelas ekspresi wajah Pak Mahar.)
Bahkan hingga kami turun pun, Pak Mahar masih khawatir dan menitipkan kami pada beberapa pendaki laki-laki yang terlihat sedang istirahat di gerbang pendakian. Sayangnya mereka semua sudah turun, jadi kami tetap harus jalan berdua.
Terima kasih Pak Mahar karena sudah menghawatirkan kami. Alhamdulillah kami baik-baik saja Pak!
Sebelum mulai masuk ke track pendakian, kami mampir dulu di salah satu warung untuk numpang ke toilet. Dan ternyata.. Aku PMS hari pertama. Hhhh. Sebenarnya sangat tidak nyaman naik gunung dalam kondisi sedang haid. Tapi aku tetap harus positive thinking dan yang terpenting sampahnya harus dibawa turun lagi tidak dibuang sembarangan.
Beruntungnya di Gunung Rinjani tidak sulit mencari sinyal. Setelah berdoa bersama, kami segera mengabari teman-teman yang sudah menunggu di Plawangan. Bismillah!
|
![]() |
Loc: Pos 3 Jalur Sembalun, TNGR. |
Pada siang itu jalur cenderung sepi dan karena jalurnya terbuka, panasnya matahari terasa sekali di kulit kami. Baru berjalan sebentar, kami menemukan warung dan tertarik untuk mengisi perut terlebih dahulu di warung itu sekalian menambah energi. Sampai menuju Pos 2, banyak sekali ojek-ojek yang sedang turun mengantar turis asing dan menawari kami untuk menggunakan jasa ojek. Memang sampai Pos 2 masih bisa naik ojek, katanya sih lebih menghemat waktu.
Kami terus melanjutkan perjalanan menuju Pos 3, sepanjang perjalanan kami bertemu dan berkenalan dengan beberapa pendaki yang bertemu di jalur. Hampir semua yang kami temui pun terheran-heran karena melihat kami yang hanya mendaki berdua.
Kurang lebih sekitar jam 05.00 sore kami akhirnya sampai di Pos 3. Disini pun kami mengalami hal yang lucu lagi, sekaligus keberuntungan buat kami berdua mungkin. Begitu sampai, awalnya aku dan Vanny ingin beristirahat dan bernafas sejenak sebelum mendirikan tenda untuk istirahat malam ini. Hingga kemudian ada seorang bapak-bapak yang sedang berada disitu bertanya kepada kami. Kurang lebih berikut percakapannya;
Si Bapak: "Sini Dek istirahat dulu, ngecamp disini kan malem ini?"
Kami: "Iya pak hehehe."
Si Bapak: "Mana rombongannya? Kok cuma berdua doang?"
Kami: "Iya pak cuma berdua aja."
Si Bapak: "Wah serius? Yaudah gabung sama kita aja. Kita di bawah situ tendanya."
Belom sempat menjawab dan mengiyakan, si Bapak tersebut sudah berteriak pada rombongannya dan seolah memberi pengumuman hingga seluruh orang yang sedang berada di Pos 3 sepertinya sudah mendengar kalau kami hanya berdua saja. Aku dan Vanny pun mendadak jadi sungkan sendiri karena seolah-olah seperti bintang tamu yang menjadi sorot perhatian pendaki lainnya yang juga sedang beristirahat disitu.
Tidak lama kemudian bapak-bapak yang lain sudah menyambut kami dan memaksa kami untuk bergabung bersama mereka yang sedang bersiap-siap untuk makan sore. "Udah sini dulu, makan dulu bareng-bareng yuk, nanti tendanya biar dibuatkan sama porter. Sini dulu, Dek." Kata salah seorang bapak-bapak di rombongan itu sambil menghampiri kami.
Sempat terdengar juga dari tenda sebelah yang berisi beberapa laki-laki seumuran kami yang saat itu sedang menyiapkan kayu untuk membuat api unggun, "Sini aja mbak, ga usah bikin tenda. Nanti makannya dimasakkin sama kita."
Waduh, kalau seperti ini kan jadi enak hehehe diperebutkan disana-sini sampai bingung sendiri harus ngapain.
Akhirnya aku membongkar carrier dan mengeluarkan tenda. Jadi aku dan Vanny memang membagi barang bawaan, dikarenakan carrier kami yang tidak begitu besar, jadi harus diatur sedemikian rupa supaya cukup. Di carrierku, aku membawa tenda, beberapa pakaian ganti, sandal, dll. Sementara di carrier Vanny menampung sleeping bag kami berdua, beserta logistik makanan untuk beberapa hari kedepan.
Kalau mengingat pepatah, rezeki itu tidak boleh ditolak hehehe. Akhirnya setelah tenda kami diambil alih oleh tiga orang porter kami pun merapat ke tempat makan bapak-bapak yang daritadi sibuk menawarkan dan memberikan kami tempat duduk. Jadi sepertinya bapak-bapak ini menggunakan jasa porter yang paling lengkap, karena mendapatkan fasilitas seperti di hotel bintang lima. Terdapat dua toilet kering, meja makan dan kursi-kursi lipat beserta menu mewah yang lengkap dengan buah-buahan. Kapan lagi nih bisa ngerasain yang seperti ini, memang rezeki anak sholeh ya hehehe.
Sepanjang sejarah pendakianku, aku memang belum pernah sama sekali menggunakan porter ketika naik gunung. Kali ini akhirnya bisa ikut merasakan walau hanya sebentar. Rasanya aku dan Vanny seperti sedang naik gunung sambil ditemani ayah kami.
Belakangan kami tahu setelah berbincang-bincang, bapak-bapak tadi adalah rombongan dari Bintaro, Jakarta Selatan yang tinggal di satu lingkungan dan bekerja di satu perusahaan. Wajar saja kalau mereka menggunakan porter, karena usianya yang terbilang sudah lebih dari kepala empat dan lima. Betapa beruntungnya aku dan Vanny, karena selain bekal yang kami bawa jadi utuh di hari pertama ini, kami malah ketambahan logistik dari om-om ini seperti coklat untuk dibawa.
Terima kasih om-om yang baik hati sudah menawari kami untuk bergabung!
Lanjut cerita, sore itu sekitar pukul 17.00 WITA setelah tenda berdiri sempurna kemudian kamipun menggelar matras dan juga sleeping bag untuk persiapan tidur malam harinya. Kami mulai menggunakan jaket, kaus kaki tebal dan membersihkan diri menggunakan tisu basah supaya bisa tidur nyenyak. Gini-gini kami pun masih memiliki jiwa kewanitaan dan bisa dibilang sedikit 'riweuh' kalau masalah penampilan. Biasanya, di pagi hari setelah bangun tidur, kami tidak mau keluar tenda kalau belum re-touch up dan menggunakan krim dengan SPV yang tinggi supaya kulit tidak terbakar. Sebelum tidur juga biasanya kami tidak jarang tetap menggunakan krim malam supaya keesokan harinya kulit tidak kering dan mengelupas. Karena sesungguhnya, ketika kita berada di gunung biasanya kita sering tidak sadar kalau matahari sebenarnya berada lebih dekat dengan kita jika dibandingkan dengan di perkotaan. Saat di gunung, kita berada di ketinggian tertentu di atas permukaan laut, akan tetapi biasanya suhu atau hawa disana yang memang selalu dingin sekitar di bawah 15℃ termasuk di siang hari, sehingga membuat kita mengira kondisi tersebut tidak panas. Hal itulah yang seringkali membuat kulit pendaki mengelupas dan kering seperti orang yang habis terbakar.
Oke, balik lagi ke Pos 3! Malam itu, aku dan Vanny dipanggil keluar dari tenda untuk ikut menikmati api unggun sambil mendengarkan cerita tentang sejarah Dewi Anjani yang diceritakan oleh mas Doni sang tour guide dari rombongan mereka. Rasanya indah sekali, menikmati hangatnya api unggun di bawah jutaan bintang-bintang sedikit dapat mengalihkan dinginnya udara malam itu.
Sepanjang sejarah pendakianku, aku memang belum pernah sama sekali menggunakan porter ketika naik gunung. Kali ini akhirnya bisa ikut merasakan walau hanya sebentar. Rasanya aku dan Vanny seperti sedang naik gunung sambil ditemani ayah kami.
Belakangan kami tahu setelah berbincang-bincang, bapak-bapak tadi adalah rombongan dari Bintaro, Jakarta Selatan yang tinggal di satu lingkungan dan bekerja di satu perusahaan. Wajar saja kalau mereka menggunakan porter, karena usianya yang terbilang sudah lebih dari kepala empat dan lima. Betapa beruntungnya aku dan Vanny, karena selain bekal yang kami bawa jadi utuh di hari pertama ini, kami malah ketambahan logistik dari om-om ini seperti coklat untuk dibawa.
Terima kasih om-om yang baik hati sudah menawari kami untuk bergabung!
Lanjut cerita, sore itu sekitar pukul 17.00 WITA setelah tenda berdiri sempurna kemudian kamipun menggelar matras dan juga sleeping bag untuk persiapan tidur malam harinya. Kami mulai menggunakan jaket, kaus kaki tebal dan membersihkan diri menggunakan tisu basah supaya bisa tidur nyenyak. Gini-gini kami pun masih memiliki jiwa kewanitaan dan bisa dibilang sedikit 'riweuh' kalau masalah penampilan. Biasanya, di pagi hari setelah bangun tidur, kami tidak mau keluar tenda kalau belum re-touch up dan menggunakan krim dengan SPV yang tinggi supaya kulit tidak terbakar. Sebelum tidur juga biasanya kami tidak jarang tetap menggunakan krim malam supaya keesokan harinya kulit tidak kering dan mengelupas. Karena sesungguhnya, ketika kita berada di gunung biasanya kita sering tidak sadar kalau matahari sebenarnya berada lebih dekat dengan kita jika dibandingkan dengan di perkotaan. Saat di gunung, kita berada di ketinggian tertentu di atas permukaan laut, akan tetapi biasanya suhu atau hawa disana yang memang selalu dingin sekitar di bawah 15℃ termasuk di siang hari, sehingga membuat kita mengira kondisi tersebut tidak panas. Hal itulah yang seringkali membuat kulit pendaki mengelupas dan kering seperti orang yang habis terbakar.
Oke, balik lagi ke Pos 3! Malam itu, aku dan Vanny dipanggil keluar dari tenda untuk ikut menikmati api unggun sambil mendengarkan cerita tentang sejarah Dewi Anjani yang diceritakan oleh mas Doni sang tour guide dari rombongan mereka. Rasanya indah sekali, menikmati hangatnya api unggun di bawah jutaan bintang-bintang sedikit dapat mengalihkan dinginnya udara malam itu.
![]() |
Kurang lebih seperti ini suasananya. Loc: Pos 3, Jalur Sembalun, TNGR. |
Keesokan harinya, seperti rencana awal aku dan Vanny ingin melanjutkan perjalanan pada pukul 08.00 WITA. Supaya sampai di Plawangan tidak kesorean dan bisa mencari rombongan teman kami yang sudah ada disana mengikuti upacara 17 Agustusan. Maka kami pun memasang alarm untuk bangun jam 6 pagi, membereskan sleeping bag dan matras, membongkar tenda dan packing ulang barang bawaan. Setelah itu, kami diajak sarapan oleh bapak-bapak Bintaro hehehe dengan menu sandwich, kentang goreng, buah-buahan, dan teh manis hangat. Rasanya seperti sedang menginap di hotel bintang lima! Hanya saja, disini bintangnya ada lima juta!
Kami memulai perjalanan pada pukul 8.00 WITA. Perkiraan kami perjalanan akan ditempuh sekitar 4-6 jam menuju ke Plawangan Sembalun dari Pos 3. Karena, berdasarkan cerita yang kami dengar, hari itu kami akan bertemu dengan 7 bukit penderitaan. Iya, tujuh! Kalian gak salah baca kok. Tidak usah dibayangkan, karena aku sendiri pun malas untuk membayangkannya, lebih baik langsung dijalani saja hehehe. Sedikit tips dari aku, yang membenci tanjakan tetapi juga tidak menyukai turunan, biasanya kalau perjalanan menanjak yang cukup curam aku cenderung lebih melihat ke bawah. Lebih banyak melihat tanah dan fokus pada pijakan sepatu. Karena kalau melihat ke atas, nanti tanjakan yang ujungnya tidak terlihat itu biasanya seolah-olah akan melambai-lambaikan tangannya dan membuatku sesak nafas duluan. Hhhh. Jadi,, alangkah baiknya aku tidak membiarkan mentalku down duluan. Cukup sesekali saja melihat ke atas dan depan untuk memastikan bahwa tidak ada batang pohon yang membuat kita harus jalan merunduk. Tapi itu aku ya, entah yang lain. Setiap orang mungkin mempunyai caranya masing-masing untuk memotivasi dirinya, mungkin ada juga yang dengan melihat tanjakannya justru jadi lebih bersemangat dan terpacu untuk segera sampai di atas. Who knows.
Oiya, selama perjalanan ke Plawangan Sembalun, aku dan Vanny berjalan beriringan dan bersalip-salipan dengan rombongan si Om. Beberapa kali kami sempat menyalip mereka, tetapi tidak jarang juga mereka yang mendahului kami ketika kami sedang beristirahat atau minum. Terbaik sih kalau kita istirahatnya sedang bersamaan dengan mereka, aku dan Vanny jadi mendapatkan jatah kupasan buah nanas yang entah mengapa ketika memakannya disana seolah-olah itu adalah buah tersegar dan terenak yang pernah ada di dunia. Di bawah teriknya matahari, diantara debu-debu dan pasir di bukit penderitaan, makan buah nanas yang sudah dikupasi oleh porter itu juara deh asli!
Kami tiba di Plawangan Sembalun itu sekitar pukul 14.00 WITA, sesuai perkiraan yang memakan waktu enam jam perjalanan. Aku dan Vanny memang berjalan santai dan banyak beristirahat, karena cuaca siang hari yang cukup panas ditambah treknya yang berdebu membuat nafas semakin sulit diatur dan keringat yang mengucur. Saat itu juga kami ingin langsung mencari rombongan teman-teman kami, yang katanya sudah menempelkan tulisan nama kami berdua dan mengikatkan tali Lombok di tenda Lafuma mereka yang katanya juga berwarna oranye. Btw, kondisi Plawangan Sembalun itu cukup luas, dari ujung ke ujung mungkin sekitar 600 meter. Lumayanlah kalau berjalan kaki dengan membawa beban berat di carrier, apalagi ditambah mindset-ku yang mengatakan sudah sampai, sudah lelah, dan sudah butuh istirahat. Rasanya mau ngangkat kaki itu beratnya bukan main. Karena fisik dipengaruhi oleh mental itu benar. Sehingga waktu itu aku langsung selonjoran di bawah sebuah pohon dan akhirnya Vanny lah yang sibuk mencari kesana-kemari tenda Lafuma oranye sambil meneriakkan nama Idris, Bintang, Ilham dan juga Lubis.
Aku: "Teh, bentar yak istirahat dulu." (sambil merebahkan badan, meluruskan kaki dan menjadikan carrier sebagai sandaran)
Vanny: "Selow, yaudah gua nitip carrier ya. Lu tunggu sini dulu, gua cari mereka kesana bentar. Om, aku nitip Rieke dulu yah bentar. Mau nyari tenda temen dulu ke sebelah sana!" (setelah menitipkan aku yang sedang kelelahan itu ke rombongan si Om, kemudian Vanny pun melepaskan carrier-nya dan bergegas pergi)
Senaaaang sekali akhirnya bisa bertemu mereka di Plawangan, aku hampir mengira mereka sudah meninggalkan kami dan turun duluan ke Danau Segara Anak. Kalau sampai benar ditinggalkan, mereka jahat sih!Aku: "Teh, bentar yak istirahat dulu." (sambil merebahkan badan, meluruskan kaki dan menjadikan carrier sebagai sandaran)
Vanny: "Selow, yaudah gua nitip carrier ya. Lu tunggu sini dulu, gua cari mereka kesana bentar. Om, aku nitip Rieke dulu yah bentar. Mau nyari tenda temen dulu ke sebelah sana!" (setelah menitipkan aku yang sedang kelelahan itu ke rombongan si Om, kemudian Vanny pun melepaskan carrier-nya dan bergegas pergi)
Aku sedang berusaha mengatur nafas supaya normal kembali dan kemudian tiba-tiba ada suara seorang laki-laki yang menyapaku dari belakang, "Rieke yah?". Secara spontan aku menengok ke belakang, karena kaget dan seingatku itu bukan suara dari keempat teman kami itu yang memang baru kenal beberapa hari tapi kurasa aku sudah cukup mengingat suara mereka. Di ketinggian yang hampir 3000 mdpl itu, mana mungkin ada yg mengenaliku, pikirku waktu itu. Ternyata itu adalah suara bang Fathan, saudara sepupu Doni yang juga sedang naik mengantarkan teman-temannya rombongan dari Jogja. Mereka berangkat sehari lebih dulu dari kami. Aku sudah sempat kontek-kontekan sama bang Fathan sebelum berangkat, karena Doni yang memberikan kontaknya untuk menyuruh kami berangkat berbarengan. Tetapi lagi-lagi terkendala waktu yang tidak pas, jadi kami tidak bisa berangkat bareng.
"Eh, iya. Bang Fathan sepupu Doni ya?" Kataku kemudian sambil menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Kemudian bang Fathan menghampiriku bersama seorang temannya, bang Rudi yang kemudian berkenalan denganku. "Tadi liat fotonya di line, ternyata mirip." Kata bang Fathan lagi. Sempat mengobrol sedikit, dan bang Fathan juga sempat mengajakku untuk mampir ke tendanya yang ternyata letaknya tidak jauh dari tempatku beristirahat itu.
Kemudian, tidak berselang lama aku melihat Ilham dan Bintang yang sedang berjalan menghampiriku dari kejauhan.
"Akhirnyaaa, ketemu kalian juga! Dimana sih tendanya? Jauh amat! Vanny mana? Udah disana kan?" kataku tidak sabaran.
"Iya Ke, Vanny udah di tenda. Mana sini carrier lu, gua bawain. Mau kesana ga?" Nah yang bagian ini aku lupa, Ilham atau Bintang yang bilang. Yang jelas Bintang dan Ilham datang untuk menjemputku dan membantu membawakan carrier Vanny dan punyaku. Kalian terbaik! Bintang dan Ilham ini yang selalu menghiburku selama perjalanan dengan bercandaan dan gombalan-gombalan mereka.
Setelah memperkenalkan Ilham dan Bintang kepada bang Fathan, kemudian berpamitan dengan rombongan si Om akupun berjalan mengikuti Ilham dan Bintang dengan kaki yang terseok-seok karena sudah lemas. Ketika sampai di tenda mereka, dan melihat tendanya yang ternyata berwarna kuning bukan oranye.. "Katanya tendanya warna orens, ya pantesan aja si teteh nyariin ga ketemu-ketemu!" Kataku kesal.
"Iya ih gua sampe teriakkin satu-satu ke deket tenda yang warnanya kuning, mana banyak kan." Kata Vanny menambahkan.
"Tadi kita udah ngabarin di chat, kalo tendanya di deket arah ke sumber air. Tapi kalian udah ga ada sinyal kayanya." Entah ini juga aku lupa siapa yang bilang, yang jelas salah satu diantara mereka.
Merasa sudah cukup istirahat dan kembali bersemangat, kemudian aku dan Vanny langsung ingin mendirikan tenda dan membereskan barang bawaan. Saat itu, di dalam tenda mereka ada Gilang yang katanya sedang kurang enak badan dan lagi istirahat. Idris sedang tidur di hammock yang digantungkan di pohon tidak jauh dari lapak tenda kami. Ilham dan Bintang sedang bersih-bersih badan sekalian mengambil air ke sumber air yang jaraknya lumayan jauh. Disitu kami mendirikan tenda dibantu oleh Rico dan Lubis.
Comments
Post a Comment