Captured by: Riko Dwi Saputra. |
Berhubung
belum ada cerita perjalanan terbaru dalam waktu dekat ini, aku memutuskan untuk
menuliskan pengalaman cerita-cerita yang sudah lama sebelum menghilang
sepenuhnya dari ingatanku. Kali ini aku akan throwback ke tahun 2015 silam. Waktu itu bulan Agustus, aku
kedatangan rombongan dari Semarang yang ingin ke Ranu Kumbolo. Mereka adalah
mba Visi, Valen dan Riko teman-teman yang kukenal dari Instagram tetapi keakraban kita seperti sudah berteman lama. Dan yang ikut berangkat dari Malang ada
aku, Dodo, Obam, Andhi, Lando, Tama, Resti dan Sifa juga ada mba Ni dari
Surabaya. Total rombongan waktu itu 12 orang dan kalau tidak salah ingat kami
berangkat beberapa hari sebelum 17 Agustusan. Ini termasuk rombongan
terbanyak-ku sepanjang sejarah pendakian yang pernah aku lakukan. Awalnya aku
sempat ragu-ragu akan ikut berangkat atau tidak. Padahal biasanya kalau naik
gunung aku tidak pernah ragu-ragu. Tetapi mereka berusaha mengompori dan
meyakinkanku hingga akhirnya pun aku turut mem-packing barang bawaan dan berangkat bersama mereka. Perjalanan
menuju ke Ranu Kumbolo berjalan lancar dan menyenangkan seperti seharusnya. Walaupun ada beberapa insiden kecil, yaitu mba Ni yang sempat terjatuh hingga pelipis dekat matanya agak membengkak karena tersandung batang pohon sewaktu perjalanan menuju ke Pos 1 dan Resti yang kepalanya juga sempat kejedot batang pohon. Kami berangkat dari Malang naik motor dan rencana awal hanya menginap semalam
saja di Ranu Kumbolo. Akan tetapi ketika di perjalanan turun dari Ranu Kumbolo
menuju ke Ranu Pane, ada kejadian yang menimpa mba Visi dan membuat mba Visi
kakinya cedera lumayan parah bahkan harus dievakuasi.
Pendaki Cantik |
Ceritanya,
siang itu kami memilih lewat jalur atas (bukan melipir danau) melewati hutan
untuk menuju ke sisi danau yang satunya. Kondisi jalur yang setapak dan tidak
terlalu lebar mengharuskan pendaki untuk berjalan dalam satu baris. Waktu itu,
mba Visi ada di bagian belakang bersama Valen dan Tama. Ketika tiba-tiba ada
pendaki mancanegara yang ingin mendahului dan menyalip rombongan kami sehingga
membuat mba Visi dan yang lainnya harus sedikit kepinggir memberi jalan. Ketika
hendak berpindah posisi, tidak sengaja kaki mba Visi terkilir dan keseleo di
bagian pergelangan kakinya. Waktu itu mba Visi meminta tetap melanjutkan perjalanan
dengan kondisinya yang semakin lama semakin terpincang-pincang. Aku mungkin
memang tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berjalan di jalur turun dengan
kaki yang keseleo, tapi yang aku tahu jalan di jalur turunan dengan kondisi
normal saja rasanya cukup menguras tenaga dan membuat kita menahan sakit di
ujung-ujung jari sewaktu mengerem. Aku salut sekali dengan mba Visi yang tetap
semangat untuk melanjutkan perjalanan dan tidak mengeluh sedikitpun. Walaupun
ternyata hal tersebut justru membuat kondisi kakinya semakin parah karena dipakai jalan terus.
Setelah
melewati Pos 3 dan melewati jalur longsor, aku bersama rombongan yang di depan (kalau
tidak salah ada Obam, mba Ni, Resti, Dodo dan Riko) meminta izin pada rombongan
yang di belakang untuk berjalan lebih dulu lalu kemudian kami mempercepat
langkah dengan agak sedikit berlari supaya sampai di Ranu Pane tidak keburu
gelap sehingga bisa mencari tempat yang nyaman untuk tempat istirahat kami
nantinya. Carrier mba Visi sudah dibawa Dodo turun duluan. Sebenarnya sempat merasa ada yang aneh ketika jalan dari Pos 1 menuju ke Ranu
Pane memakan waktu sekitar satu jam setengah lebih dan seperti tidak kunjung
sampai, aku berusaha tidak berfikiran yang macam-macam. Sewaktu di perjalanan pun
seperti ada burung hitam yang mengikuti kami. Biasanya burung liar pasti akan
takut pada gerakan manusia, tetapi burung ini justru seperti menemani dan mengiringi
kami ketika berjalan turun. Aku, Resti, Dodo dan Riko sampai ke pendopo yang ada di
Ranu Pane sekitar pukul 18.00 WIB, pas sekali waktu itu baru gelap. Obam dan
mba Ni sampai duluan sebelum maghrib, karena aku tidak paham lagi Obam ini
sehari-harinya makan apa. Kenapa dia jalannya cepat sekali, tidak pernah
kelelahan, dan larinya pun tidak tertandingi. Ya, dia memang bisa dibilang athlete lari yang cukup profesional.
Kemudian kami menggelar matras di pendopo tempat istirahat untuk para pendaki yang kondisinya setengah terbuka
untuk berselonjor. Menurutku, suhu di Ranu Pane ini lebih dingin apalagi jika
kita hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa. Tidak berselang lama
rombongan di bagian tengah pun sampai, ada Sifa, Lando, dan juga Andhi. Tapi mereka
bilang kalau rombongan yang di belakang masih sangat jauh jaraknya. Kami mulai
khawatir dan menunggu dengan perasaan tidak tenang. Kemudian Obam berinisiatif
untuk menyusul dan membantu mba Visi, dengan berbekalkan headlamp dan peralatan
yang sudah dipindahkan ke daypack kecil. Sebenarnya di satu sisi ini membuat
kami semakin tidak tenang kalau harus membiarkan Obam menyusul sendirian
apalagi kondisinya sudah malam, tetapi kami percaya dia sudah menguasai medan
dan juga hanya dia yang kondisinya masih fit.
Insiden
selanjutnya pun terjadi di Ranu Pane. Waktu itu sekitar jam 21.00 WIB, Sifa
yang mempunyai gejala penyakit asma merasa sangat kedinginan hingga kemudian
bergabung dengan para porter dan guide yang sedang membuat perapian di
dekat toilet. Kamipun ikut menemani dan mengingatkan agar dia tidak terlalu
dekat dengan api supaya tidak terkena asapnya. Hingga kemudian tiba-tiba Sifa
terlihat menunduk lalu sesak nafas, lemas dan kemudian pingsan. Para porter
yang ada disitu reflek menggendong Sifa dan membawanya ke ruang istirahat Saver
(Sahabat Volunteer Semeru, petugas yang berjaga di Pos Ranu Pane). Setelah
diberikan obat asma semprot dan diolesi minyak angin akhirnya Sifa sadar. Kemudian
Sifa disuruh memakai beberapa lapis sleeping
bag dan meminum teh hangat dari Saver. Akhirnya melihat kondisinya yang
seperti itu kami disuruh beristirahat di dalam situ saja, dan para Saver
mempersilahkan kami menggunakan kamar mandi atau dapur jika ingin memasak. Waktu
itu juga kami pun bercerita pada tim Saver kalau kami sedang menunggu teman
yang kakinya cedera dan belum sampai. Hingga tiba-tiba datanglah Tama dengan
nafas yang masih ngos-ngosan. Dia bilang, kalau Obam sudah menemani mba Visi
dan Valen disana dan dengan ditemani oleh pendaki lain yang berpapasan di jalan. Mereka membuka tenda untuk beristirahat di sekitar Watu Rejeng karena kondisi mba Visi
benar-benar sudah tidak bisa jalan dan kesakitan. Mendengar itu seorang Saver justru tidak
setuju.
“Kalian tau? Watu Rejeng itu gerbangnya
kerajaan 'makhluk-makhluk' yang menghuni disana. Kalau teman kalian malam ini
tidur disitu, saya jamin tidak lama lagi bakalan ada yang kesurupan. Jadi kalau
mau buka tenda harus sedikit turun lagi.” Kata salah seorang Saver.
Mendengar hal
itu aku malah jadi semakin panik. Khawatir dan takut kalau-kalau mba Visi atau
Valen yang sedang kelelahan malah lebih mudah pikirannya jadi kosong. Dan… Ah
sungguh aku tidak bisa membayangkan hal-hal yang akan terjadi. Kamipun meminta
tim Saver untuk mengirimkan bantuan dan mengevakuasi mba Visi agar diangkut menggunakan
tandu atau semacamnya. Akan tetapi para Saver tidak bisa mengirimkan tim untuk
evakuasi malam itu dan kami harus menunggu sampai besok pagi. Disitu aku benar-benar
merasa bersalah karena malah berjalan meninggalkan mba Visi, seharusnya apapun
yang terjadi kami semuanya tetap harus berbarengan karena kami berangkatpun
berbarengan. Apalagi ketika Tama bercerita bahwa pendaki dari Jakarta yang menemani nge-camp disana sempat bilang kalau mereka tidak akan meninggalkan pendaki yang sedang sakit. Disitu aku semakin tertampar rasanya. Maafin Rieke ya mba Vis karena waktu itu ninggalin mba Visi yang
lagi kesakitan :(.
Jadi malam itu
Obam bertukar posisi dengan Tama, gantian Obam yang menemani mba Visi dan Valen
sedangkan Tama disuruh melaporkan kondisi mereka ke Ranu Pane. Tama
menyampaikan pesan dari mba Visi, katanya mba Visi minta tolong kami menghubungi
Ibunya di Semarang dan menyampaikan bahwa pulangnya harus tertunda. Takutnya
Ibu-nya khawatir menunggu. Kami segera mencari kertas berisi nomor yang katanya
ada di tas kecil yang dibawa Riko. Setelah bergotong-royong membongkar-bongkar
seluruh tas tapi hasilnya nihil. Kami tidak menemukan kertasnya dan berfikiran
mungkin masih terbawa mba Visi atau Valen di tas yang mereka bawa. Malam itu
rasanya benar-benar campur aduk. Antara cemas dan takut. Hanya ada aku, Resti,
Sifa, dan mba Ni di ruangan Saver. Kami memutuskan untuk memasak mi instan,
tapi entah kenapa suasana malam itu menjadi semakin horror karena lampu ruangan
yang tiba-tiba berkedip-kedip dan ada serangga besar yang jatuh didekat kami. Tidak
lama kemudian ada seorang Saver yang datang dan mengatakan kalau malam itu akan
ada rombongan lain juga yang beristirahat disitu. Sehingga tidurnya harus
diatur menyerupai ikan dan sedikit berdesak-desakkan karena rombongannya
berjumlah 20 orang. Kami mengangguk setuju dan berfikiran mungkin karena sudah
terlalu malam tim Saver tidak mengizinkan pendaki untuk turun ke kota karena
jalannya yang terlalu curam, sehingga banyak pendaki yang menumpang
beristirahat disitu juga. Tapi ternyata, perkiraan kami salah. Mereka adalah
rombongan pendaki yang salah seorang temannya menghilang ketika turun dari
puncak Semeru.
Suasana malam
itu semakin membuat merinding karena sebelum tidur, kami semua berkumpul di
ruangan Saver bersama rombongan 20 orang tadi membentuk sebuah lingkaran,
merenung bersama-sama dan membacakan doa agar Daniel, teman mereka yang hilang
itu segera ditemukan dan juga untuk mba Visi yang sedang cedera semoga
kondisinya segera membaik. Malam itu Ranu Pane jadi tidak sedingin biasanya, kami
tidur berbalut sleeping bag masing-masing menyukupkan diri yang diisi hampir 30
orang dalam satu ruangan.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali suara telepon milik tim Saver berdering berkali-kali
sekaligus menjadi alarm untuk kita semua agar segera bangun. Ternyata itu
adalah telepon dari pihak keluarga pendaki yang hilang dan juga telepon dari
media-media yang sudah mengetahui kabar tersebut dan ingin memastikan
kebenarannya. Tiba-tiba Resti yang berada disebelahku mengatakan kalau sewaktu
tidur dia memimpikan Daniel. Dia terlihat seperti sedang menangis dan berusaha
mencari jalan keluar dari dalam hutan. Di dalam bayangannya, Daniel ini
bersosok tinggi besar. Lalu akupun terheran, bagaimana bisa memimpikan
seseorang yang bahkan kita tidak pernah bertemu sebelumnya dan mengetahui
tampilan fisiknya? Apakah ini sebuah pertanda? Kemudian aku mengajak Resti
untuk keluar mengisi air sekaligus membersihkan muka. Karena kamar mandi di
dalam situ hanya ada satu dan orang yang mengantri lumayan banyak. Selain itu juga persediaan uang kami semua yang sudah menipis sehingga harus menghemat pengeluaran dengan minum me-refill dari air keran (hal ini sangat lumrah karena biasanya air dari pegunungan masih belum tercemar dan aman untuk diminum). Ketika
melihat suasana diluar tidak seperti biasanya, sangat ramai dan kudengar-dengar
dari beberapa pendaki kalau pendakian mulai hari itu ditutup karena akan
diadakan open SAR untuk mencari Daniel. Di depan ruangan Saver juga ada
beberapa polisi beserta anjing pelacak yang sedang disimulasikan untuk
mengenali beberapa barang milik Daniel yang terakhir dipakai. Aku dan Resti
berjalan ke arah pos Simaksi tempat pendaftaran, disitu ditempelkan pengumuman
yang diprint di kertas yang memberitahukan kalau pendakian Semeru ditutup beserta
foto-foto terakhir Daniel sewaktu di puncak Semeru sebelum hilang.
“Bener Rieke, ini yang aku mimpiin. Sama
kaya gini orangnya, tinggi.” Kata Resti setelah melihat fotonya.
Kejadian aneh
yang lain adalah ketika kami sedang packing
dan tidak sengaja menemukan kertas titipan mba Visi semalam. Padahal benar-benar
sudah dibongkar semua tas dan ada banyak saksi, kertas itu tidak ada. Kenapa
pas pagi harinya jadi ada? Masih menjadi misteri sampai sekarang.
Setelah
memastikan kalau mba Visi sudah aman dan digendong oleh seorang porter dalam perjalanan ke Ranu Pane, kami bersama yang
lain mencari sarapan sambil menunggu. Sewaktu di warung, kami mendengar berita
lagi bahwa ada pendaki wanita asal Jawa Barat yang ditemukan meninggal di area
pasir menuju ke puncak akibat kejatuhan batu yang longsor. Juga ada dua korban
yang patah tulang di bagian kaki dan tangan dan satu korban hipotermia yang sedang dievakuasi untuk turun.
Ya Tuhan apalagi ini? Banyak sekali musibah yang terjadi hari itu. Saat itu di
Ranu Pane memang sangat ramai, selain dipenuhi oleh para pendaki yang tidak
bisa naik karena pendakiannya ditutup, banyak juga mobil tim SAR dan ada juga
mobil Ambulans.
Sekitar pukul
11.00 WIB, mba Visi akhirnya sampai bersama Valen dan Obam dengan digendong
oleh porter yang kukenal baik sampai
saat ini bernama Pakde Dul. Alhamdulillah.. Walaupun kondisi kaki mba Visi
semakin parah sudah membengkak dan seperti lebam dari betis bagian bawah sampai
ke pergelangan kakinya. Sungguh rasanya aku ingin menangis melihat kondisinya. Sekali
lagi, maafin aku mba Visi waktu itu nggak bisa bantu apa-apa :(. Oya, setelah mendengar cerita dari mba Visi sendiri, Pak Dhe Dul ini ternyata orang yang sangat baik. Jadi awalnya Pak Dhe akan menuju ke Ranu Kumbolo untuk mengambil logistik yang sudah dia bawa sebelumnya karena rombongan pendaki yang mau diantarkan tidak jadi naik. Pak Dhe sudah sempat mendengar kabar kalau ada pendaki perempuan yang keseleo, hingga akhirnya bertemu dengan mba Visi di Watu Rejeng dan memutuskan untuk ikut menemani menginap disana bersama pendaki dari Jakarta tiga orang. Sebenarnya Pak Dhe kuat saja kalau harus menggendong malam itu juga untuk turun ke Ranu Pane, tetapi karena kondisi mba Visi yang sudah tidak memungkinkan dan sulit bergerak karena kesakitan jadi lebih baik istirahat dulu disitu. Persediaan logistik yang dibawa mba Visi dan Valen juga tinggal tersisa coklat dan air mineral saja, akhirnya Pak Dhe menyarankan untuk sementara berbagi logistik dari pendaki Jakarta dulu. Dan Pak Dhe berjanji kalau besok pagi akan menggantikan logistiknya pendaki Jakarta itu di Ranu Kumbolo setelah mengantarkan mba Visi turun. Duh, terharu aku Pak Dhe :')
![]() |
Obam, Valen dan Mba Visi yang lagi digendong Pak De Dul Porter. |
Petugas-petugas
dan orang-orang disana menyarankan supaya mba Visi dibawa naik ambulans saja
bersama dengan korban lainnya. Mengingat rombongan kami harus pulang naik
motor, dikhawatirkan kondisi mba Visi belum kuat. Tetapi ternyata menunggu
korban yang lain bisa sampai sore, karena medan dan jalur yang panjang untuk
evakuasi korban dari atas hingga ke Ranu Pane. Akhirnya mba Visi memutuskan
untuk pulang naik motor saja.
Kebetulan,
saat itu akan digelar acara ’50 Pendaki Wanita’ dari brand outdoor lokal yaitu Rei Outdoor untuk menyambut sekaligus
merayakan 17 Agustus selama seminggu ke depan. Siang itu sudah terpasang
spanduk dan umbul-umbul di sepanjang jalan di Ranu Pane. Terbayang kan betapa
ramai dan chaos-nya kondisi Ranu Pane
saat itu? Aku yang sebelum berangkat memang juga sudah sempat mendaftar untuk
tergabung dalam kegiatan ‘Expedition Women Series’ itu kemudian mencoba
menghampiri orang-orang dengan seragam Rei yang ada di depan basecamp Gimbal Alas itu untuk
memastikan. Aku memang sudah menjalani proses interview dengan kepala toko cabang Malang dan mendapat konfirmasi
kalau keterima untuk bergabung, itulah sebabnya mengapa di awal keberangkatan
aku sempat ragu-ragu. Karena waktunya yang hanya berjeda sehari aku khawatir
ketika pulang aku terlanjur lelah dan justru jadi males berangkat lagi. Ternyata,
karena satu dan lain hal aku bahkan belum pulang dan bertemu tidak sengaja
dengan tim Rei Outdoor-nya di sana. Waktu itu aku mendaftar menjadi SPG-nya, yang
menjaga stand selama dua minggu di Ranu Pane. Bukan mendaftar sebagai 50
pendaki wanita. Karena kalau menjadi SPG mendapatkan gaji sedangkan kalau
menjadi pendaki hanya mendapatkan beberapa peralatan gunung. Dan waktu itu aku
lebih membutuhkan uang. Saat itu aku menceritakan kepada orang-orang dari Rei
Outdoor kalau aku baru saja turun dari Ranu Kumbolo dan belum sempat pulang
karena ada teman yang harus dievakuasi. Ternyata mereka justru melarang aku
untuk pulang, katanya nanti aku akan dapat beberapa pakaian dan diberi kamar
penginapan lengkap dengan fasilitas air hangat. Aku juga akan mendapat uang
makan setiap harinya, jadi pada akhirnya aku berpisah dengan mba Visi dan
kawan-kawan yang pulang sore itu untuk menuju ke RS Saiful Anwar dan memeriksakan
kakinya.
Karena di Ranu
Pane susah sinyal, bahkan tidak ada sinyal sama sekali waktu itu. Aku
menitipkan pesan dan minta tolong Sifa menghubungi Mamiku untuk menyampaikan
kalau aku masih harus stay di Ranu Pane selama dua minggu lagi. Khawatir banyak
berita korban meninggal dan hilang sudah tersebar sedangkan aku masih belum ada
kabar hingga dua minggu kedepan bisa membuat orang-orang mencariku. Aku ingat
sekali ketika berpisah mereka membawakanku body
lotion, beberapa kaus kaki cadangan yang belum terpakai, dan beberapa
perlengkapan lain untukku seminggu kedepan. Terima kasih banyak geng!
Selama dua
minggu aku menghabiskan hari-hariku di Ranu Pane dengan orang-orang baru di
lingkungan yang sudah tidak asing. Merasakan kedinginan sepertinya sudah
menjadi hobi baru waktu itu, karena setiap hari harus tidur dengan suhu dibawah
10°C. Tidak pernah sedikitpun aku berkeringat sewaktu disana. Aku membayangkan
bagaimana orang-orang Suku Tengger selama ini menjalani hari-harinya di suhu
dingin setiap hari dan sulit untuk berkeringat. Maka dari itu, jika
diperhatikan kulit wajah mereka lebih kering dan pipinya berwarna merah alami
seperti memakai blush on. Tetapi
meningkatknya wisatawan ke TNBTS semenjak 2012 ini membuat warga Suku Tengger dapat meningkatkan perekonomian mereka. Bisa dijamin hampir semua penduduk disana
setidaknya mempunyai bisnis masing-masing, entah itu menyewakan jeep,
penginapan, warung sembako, bensin eceran, yang jelas pendapatan mereka lumayan
banyak. Bisa terlihat ketika mereka berbelanja di stand Rei Outdoor waktu itu,
seperti tidak khawatir uangnya akan habis.
Dari hari ke
hari semakin banyak pendaki yang datang dan memenuhi Ranu Pane serta Ranu
Regulo untuk menunggu dibukanya izin pendakian ke Gunung Semeru itu. Banyak
sekali pendaki yang dari luar kota dan bahkan luar pulau sudah jauh-jauh datang
tetapi tidak bisa mendaki karena masih ada proses pencarian pendaki yang hilang
dan belum juga ditemukan. Hingga akhirnya di hari ke-lima aku mendengar kabar
kalau Daniel sudah berhasil ditemukan di dekat Sumber Mani dalam kondisi
selamat. Syukurlah! Itu berarti acara pemberangkatan 50 pendaki wanita juga bisa
terlaksana secepatnya.
Berkenalan
dengan para pendaki lain, akrab dengan warga lokal, petugas-petugas, Saver, orang-orang
dari Gimbal Alas termasuk Pak Tarpin (pendaki yang masuk rekor karena berjalan
mundur), para porter dan guide, teman-teman dari brand Outdoor
Pro, hingga supir-supir jeep disana sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru.
Menu makanku bergilir dari warung ke warung setiap harinya supaya tidak bosan,
karena hanya ada itu-itu saja disana. Tidak jarang harus berjalan ke arah desa
tempat pemukiman warga untuk menumpang mandi jika air hangat disitu sedang
bermasalah. Karena tentu saja aku tidak mau mandi dengan air es! Hahaha. Bahkan
tidak jarang juga aku tidak mandi dan hanya mencuci muka saja. Itu semua
menjadi pengalaman baru buatku, terutama merasakan upacara 17 Agustus bersama
warga Suku Tengger di Ranu Pane. Kira-kira seminggu sekali aku menumpang
telepon di warung Bagus (salah satu warung yang paling terkenal di Ranu Pane),
untuk menelepon Mami dan menceritakan kejadian yang aku alami di sana. Karena dari kecil aku
memang terbiasa untuk menceritakan apapun yang aku alami sehari-hari, sehingga
sangat gatal sekali rasanya ketika tidak bisa setiap hari bercerita. Hanya ada
beberapa warung yang mempunyai jaringan telepon. Masih seperti warnet, bayarnya
pakai tarif. Kalau tidak salah providernya namanya Ceria dan baru itu saja yang
bisa masuk kesana.
Tidak terasa
dua minggu kulalui begitu saja, menyenangkan tapi kadang ada juga hal-hal yang
membuat kesal selama menjadi SPG karena sempat kesal dengan atasan. Ada juga
keunikan-keunikan dari para pendaki yang berusaha mengajak berkenalan dan
meminta kontak. Dan tentunya ada pelajaran-pelajaran baru yang aku dapat dari
cerita ini.
Kebersamaan
itu penting, sangat diharamkan hukumnya meninggalkan teman yang sakit apalagi
membiarkannya jalan di belakang. Karena kita tidak akan tau apa yang akan
terjadi. Selalu berhati-hati dan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.
Sebagai contoh, sebenarnya pendakian ke Gunung Semeru ini hanya boleh sampai
Kalimati saja, tetapi kita kadang lebih mementingkan ego untuk muncak daripada
mengikuti peraturannya. Karena berfikiran, ‘nanggung udah sampai sini masa sih
nggak muncak?’ Ya kan? Padahal tentu saja itu sangat beresiko untuk keselamatan
kita. Aku juga hanya pendaki biasa yang masih perlu banyak belajar dari yang
lebih berpengalaman.
Sewaktu pulang
ke Malang, ribuan chat memenuhi handphone-ku yang berisi kekhawatiran
teman-teman dan pertanyaan-pertanyaan yang kini aku jawab di dalam cerita ini. Banyak
yang menduga-duga apakah aku (naudzubillahimindzalik) termasuk ke dalam korban
itu. Karena memang berita korban meninggal itu menjadi trending topic selama seminggu, terlebih lagi korbannya perempuan
dan juga berasal dari Jawa Barat. Dan aku belum ada kabar hingga dua minggu
lebih semenjak postingan terakhir yang berpamitan untuk naik gunung.
Ada percakapan
dengan warga sekitar situ yang aku ingat sampai sekarang,
“Mba, kemarin pas naik ke Rakum ngerasanya
cuacanya lagi dingin ngga?” Tanyanya kepadaku.
“Kayanya pas di Rakum ngga terlalu sih mas,
padahal biasanya kalo musim kemarau gini dingin banget kan ya?”
“Nah, iya itu mba. Makanya itu, kayanya
udah pertanda, kalau gunungnya lagi nyari korban. Lagi ‘waktunya’..”
Setelah
beberapa kali mengalami kejadian seperti ini, melihat secara langsung
korban-korban kecelakaan dari mendaki gunung, sempat terbesit pikiran apakah
ini sebuah peringatan untukku agar berhenti mendaki? Ataukah memang
sebuah proses yang harus dilalui dan diambil hikmahnya?
Semoga cerita ini bisa bermanfaat
untuk kita semua.
PS:
Cerita ini sudah mendapat persetujuan dan tambahan cerita dari pihak yang disebutkan dalam cerita, mohon maaf kalau ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan cerita. Sampai bertemu di cerita selanjutnya!
Salam hangat,
Link berita pendaki hilang dan meninggal 15 Agustus 2015:
http://jabar.tribunnews.com/2015/08/11/daniel-sang-pendaki-asal-bogor-hilang-di-gunung-semeru?page=2
Comments
Post a Comment