Puncak Menara, Gunung Lawu (3265 Mdpl). Captured by: Vanny Putri Ghasani |
Hari ini hari Selasa, dan aku
sedang tidak ada jadwal untuk keluar rumah. Aku memutuskan untuk membuka
laptopku, alih-alih ingin mencoba mulai mengerjakan latar belakang skripsi
tetapi malah membuka situs blog yang sudah sangat lama tidak kukunjungi. Jika
diibaratkan sebuah rumah, pasti isinya sudah penuh dengan sarang laba-laba dan
berdebu.
Baiklah, jadi ceritanya sewaktu
bangun tidur tadi pagi handphone-ku mendapat notifikasi pertanda bahwa kapasitas
memorinya sudah penuh, sehingga perlu menghapus beberapa data yang sudah tidak
dibutuhkan. Aku membuka galeri foto yang isinya sudah hampir ribuan, aku scroll
hingga ke paling bawah dan mulai menghapus beberapa foto yang kupikir sudah
dipindahkan ke Google Drive. Hingga kemudian aku berhenti pada sebuah foto
pendakian yang sudah cukup lama, kira-kira sekitar awal bulan Oktober tahun
2015 lalu. Yaitu ke Gunung Lawu, yang berlokasi di perbatasan antara Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Sejenak otakku memutar kenangan kembali ke masa itu, istilah
zaman sekarang sih throwback atau flashback. Ya, pendakian waktu itu cukup
berbeda dengan pendakianku yang lainnya. Ada sebuah tragedi yang membekas dan
sepertinya akan selalu teringat oleh banyak orang. Dan sebelum memori itu
benar-benar hilang dari kepalaku, aku akan menuliskannya disini dan berusaha mengingat-ingat
perjalananku dari awal hingga akhir, agar kelak bisa aku ceritakan kepada
anak-cucuku. Mungkin tidak akan terlalu detail, karena sudah cukup lama dan aku
termasuk orang yang mudah lupa. Tapi semoga bisa membantu kalian membayangkan
bagaimana suasananya waktu itu. Selamat menikmati!
Sekitar bulan September 2015,
salah satu teman SMA-ku datang ke Malang bersama adik dan teman-teman rumahnya
yang berjumlah 5 orang. Namanya Edo. Sewaktu di Malang, mereka sempat singgah
dan menginap di rumahku. Karena pada waktu itu Edo dan rombongannya berencana akan
mendaki ke Gunung Semeru. Jika dari arah kota Malang, rumahku memang searah
dengan jalur menuju Tumpang, jadi aku menawarkan supaya mereka tidak terlalu
jauh. Sepulangnya dari situ, aku dan Edo membuat janji untuk mendaki bersama
jika ada waktu kosong. Ketika sudah menentukan tanggal, akupun teringat kalau Vanny (kakak kelasku sewaktu SMA yang pada bulan Juli 2015 itu juga
ikut mendaki bersamaku ke Gunung Merbabu) juga pernah bilang kalau dia berencana akan ke Gunung Lawu juga. Waktu itu awal mula dia mulai jatuh
cinta pada gunung, sehingga masih semangat-semangatnya naik gunung. Dan ternyata tanggalnya pas! Sehingga kami menjadwalkan untuk naik ke Gunung Lawunya berbarengan. Berhubung aku sendiri berdomisili di Malang, sedangkan Edo dan
Vanny di Bogor, kami memutuskan untuk memilih gunung yang lokasinya di
tengah-tengah. Karena masing-masing dari kami masih memiliki kesibukan di
kampus masing-masing dan waktu itu belum memasuki liburan semester, jadi kami
memilih tanggal dimana terdapat tanggal merah dan long weekend di awal bulan
Oktober itu. Aku lupa, tanggal merah apa dan tepatnya tanggal berapa. Meeting
point kami di Solo, dekat kampus UNS. Karena waktu itu Vanny juga mengajak dua
orang temannya yang melanjutkan kuliah di UNS, yaitu Rahmat dan Zuhdi yang
sudah pernah mendaki Gunung Lawu sebelumnya. Aku berangkat dari Surabaya naik
bis Eka jurusan Jogja, dan sampai di Solo pada waktu subuh. Sedangkan Vanny
sudah tiba duluan menggunakan pesawat, dan Edo menggunakan kereta. Kami
berkumpul di kosan Rahmat menunggu Zuhdi. Kosan atau kontrakan ya? Tapi
sepertinya kos-kosan sih. Setelah sarapan kamipun berangkat menggunakan motor
menuju jalur pendakian Cemoro Kandang yang berada di daerah Tawangmangu.
Normalnya, kalau sudah memasuki
bulan yang berakhiran –ber seharusnya sudah masuk musim hujan, tetapi waktu itu
tidak. Justru ketika kami naik itu belum hujan sama sekali dan sedang ramai
berita kebakaran hutan dimana-mana. Kebakaran hutan sangat mungkin terjadi di
gunung, apalagi kalau sedang musim panas. Bisa terjadi karena beberapa faktor,
ada yang disebabkan dari sisa-sisa membuat api unggun yang tidak dimatikan,
sisa-sisa pendaki tidak bertanggung jawab yang membuang puntung rokok
sembarangan atau bisa juga terjadi secara alami pada rumput-rumput kering yang
saling bergesekan dan menimbulkan percikan api. Ketika kondisi kering, antara
ranting satu dan yang lainnya bisa cepat sekali menyambarkan api. Hingga
akibatnya bisa menyebar ke pohon-pohon dan terjadilah kebakaran hutan.
Kebakaran hutan di gunung juga lebih sulit dipadamkan. Selain karena kondisi
jalur yang cukup jauh dari bawah dan medan yang sulit, tidak semua gunungpun
memiliki sumber air.
Saat tiba di basecamp Cemoro
Kandang, petugas memberi himbauan kepada kami karena kondisi gunung sedang
kering. Jadi sebaiknya kami membawa persediaan air yang berlebih, karena sumber
air pun dikhawatirkan juga ikutan kering. Waktu itu jalur tetap dibuka, dan
banyak juga pendaki yang akan naik melewati jalur itu.
Setelah berdoa bersama dan akan memulai pendakian. |
Kami memulai pendakian sudah
cukup siang, dan waktu itu Rahmat hanya mengantarkan kita sampai basecamp saja.
Karena dia baru saja beres operasi, jadi bekas jahitannya masih basah. Dia
menunggu kita sampai turun lagi dengan membuka tenda di sekitaran basecamp yang
berupa kawasan pohon hutan cemara. Terima kasih Rahmat! Sudah mau mengantarkan padahal baru selesai operasi. Kapan-kapan naik bareng lagi ya!
Rencana kami perjalanan sampai
turun lagi sekitar dua hari semalam, jadi untuk malam pertama kami akan membuka
tenda di Pos 4. Tetapi karena kesorean, kami akhirnya buka tenda di Pos 3.
Perjalanan hari pertama cukup melelahkan dan membuat ngos-ngosan karena
jalurnya yang menanjak terus. Sekitar pukul 17.00 WIB, rombongan kami sempat
berjarak dan terpisah lumayan jauh. Aku dan Vanny di depan, sedangkan Edo dan Zuhdi
di belakang. Di setiap tikungan kami selalu istirahat sekaligus untuk menunggu
Edo dan Zuhdi, tetapi mereka tidak kunjung terlihat. Sampai akhirnya langit
mulai gelap, aku dan Vanny sudah menunggu cukup lama dan mulai merasakan
kedinginan. Kami khawatir mereka kenapa-napa dan ingin menunggu mereka sampai mereka
muncul, tapi pendaki-pendaki yang lain yang beberapa kali sudah lewat menyalip
kami menyarankan untuk menunggu di Pos 3 saja supaya tidak kedinginan. Akhirnya
dengan berbekalkan headlamp dan ditemani oleh rombongan pendaki lain yang
berasal dari Surabaya, aku dan Vanny melanjutkan perjalan menuju Pos 3 yang
katanya sudah tidak begitu jauh. Sesampainya di Pos 3, ada sebuah bangunan dari
seng yang didalamnya sudah penuh oleh pendaki yang juga sedang beristirahat. Aku
segera mengeluarkan jaketku. Karena belum bisa membuka tenda, kami beristirahat
di dalam situ menyempil diantara pendaki lain. Terlebih lagi, Vanny sempat
bertukar carrier dengan Zuhdi sewaktu berangkat, sehingga jaket Vanny masih belum
sampai. Mungkin karena pendaki-pendaki lain kasihan melihat kami berdua yang
seperti anak hilang, mereka banyak yang berbaik hati menawarkan kami untuk
beristirahat di tendanya, memberikan cemilan, bahkan ada juga yang mengajak
untuk berbarengan melanjutkan perjalanan ke Pos 4. Tapi kami masih khawatir
dengan Edo dan Zuhdi, sehingga memutuskan untuk tetap menunggu di Pos 3 dulu
saja sampai mereka tiba. Entah akan melanjutkan perjalanan ke Pos 4 malam itu
atau keesokan harinya, yang jelas harus bertemu dulu dengan mereka berdua dan
melihat kondisinya.
Malam itu akhirnya Edo dan Zuhdi
sampai di Pos 3! Dengan kondisi sehat dan baik-baik saja, hanya saja terlihat
sangat kelelahan. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam dulu saja di Pos 3
itu dan bergegas membuka tenda. Karena sudah malam dan kondisi di Pos 3 sudah
ramai oleh pendaki lain, kami kesulitan mencari lapak yang nyaman untuk membuka
tenda. Akhirnya tenda berdiri dengan kondisi seadanya dan sedikit miring. Ah,
yang penting bisa meluruskan kaki dan pakai sleepingbag! Besok paginya kami
melanjutkan perjalanan menuju Pos 4, Pos 5 dan Summit ke Puncak Hargo Dumilah.
Singgah sebentar di Pos 4 (Cokro Suryo) untuk masak dan mengisi energi,
kemudian kami melanjutkan perjalanan summit sekitar jam 08.00 WIB. Sebenarnya
lahan di Pos 4 sangat luas, karena itu merupakan Pos terakhir untuk para
pendaki mendirikan tenda sebelum summit. Tetapi jalurnya lebih berat
dibandingkan menuju ke Pos 3, karena lebih terbuka dan banyak batu-batu yang
terjal. Jadi mungkin kalau kami tetap melanjutkan perjalanan semalam, pasti
sampai di Pos 4 sudah tengah malam dan pasti sangat lelah. Ketika di Pos 5
(Persimpangan), kami sempat mendengar kabar dari para pendaki yang sedang turun
bahwa katanya sedang terjadi kebakaran. Tetapi tidak jelas berita kebakarannya dimana
dan ada juga yang mengatakan bahwa kebakarannya di jalur Cemoro Sewu. Melihat
kondisi masih aman, tidak ada tanda-tanda kebakaran dan masih banyak pendaki
lain yang melanjutkan perjalanan kami berempat pun bergegas untuk melanjutkan
perjalanan ke puncak. Sekitar kurang lebih satu jam akhirnya sampai di Puncak
Hargo Dumilah. Edo sempat bilang bahwa dia sepertinya masuk angin, sehingga
kami memutuskan tidak akan berlama-lama di puncak. Setelah beristirahat
kemudian berfoto-foto sebentar di tugu Hargo Dumilah dan Puncak Menara, kami
langsung bergegas kembali ke Pos 3 untuk packing dan melanjutkan perjalanan
turun supaya tidak keburu gelap sampai di basecamp.
Setelah sarapan di Pos 4 Cokro Suryo 3135Mdpl |
Saat itu kondisi di puncak sangat
cerah dan panas. Dari Puncak Menara kami bisa melihat ke bawah bekas-bekas
kebakaran hutan yang terjadi beberapa waktu lalu yang terlihat gersang dan gosong. Selama di perjalanan menuju
puncak kami berturut-turut disajikan pemandangan yang sangat indah dan cukup
untuk membayar rasa lelah perjalanan kami. Foto di Puncak Menara menjadi salah
satu yang terfavorit dari foto-foto puncak lainnya karena awan dan langit
birunya yang sangat indah.
Puncak Menara, Hargo Dumilah 3265 Mdpl. |
Tugu Hargo Dumilah 3265Mdpl |
Di perjalanan turun, ketika
sedang beristirahat di Pos 1, kami melihat gumpalan asap dan cahaya
api berwarna merah dari atas. Ternyata itu adalah api kebakaran hutan di jalur Cemoro
Sewu. Kami berempat dan pendaki-pendaki yang lain bersyukur karena sudah turun
dan mempercepat perjalanan untuk segera tiba di basecamp. Sesampainya di
basecamp, sekitar pukul 18.00 WIB kami menuju pos untuk laporan dan saat itu kondisi sudah sangat
ramai. Terdapat beberapa mobil ambulans juga mobil pemadam kebakaran.
Petugas-petugas terlihat cemas dan beberapa sedang berkomunikasi menggunakan HT
dengan kode-kode istilah yang aku tidak paham. Setelah bertemu Rahmat, dia-pun khawatir
dan gelisah menunggu kami berempat yang tidak turun-turun, kemudian menceritakan
kepada kami kalau sudah ada kabar ada pendaki yang meninggal dan masih banyak
yang terjebak di atas. Tim SAR sedang melakukan evakuasi korban dan pendakian
Gunung Lawu dari semua jalur pada hari itu resmi ditutup.
![]() |
Kondisi di jalur dari Pos 4 menuju puncak. Captured by: Vanny Putri Ghasani |
Perjalanan ini bisa menjadi
pelajaran dan mungkin masih menjadi duka yang mendalam untuk keluarga para
korban. Bahwasanya kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di alam. Jangan
terlalu memaksakan untuk naik gunung ketika kondisi sedang tidak memungkinkan. Harus jadi pendaki yang bertanggungjawab, jangan sampai meninggalkan sampah apalagi puntung rokok sembarangan dan jangan meninggalkan api dalam kondisi masih menyala setelah membuat perapian atau api unggun. Tau kan akibatnya kalau alam sudah marah? Juga harus selalu mengutamakan keselamatan karena kita nggak pernah tau gimana
perasaan keluarga kita dan orang-orang yang khawatir nungguin kita pulang ke
rumah.
Begitu aku sampai di kota dan
sudah ada sinyal, handphone-ku sempat nge-hang karena menerima notifikasi yang
super duper banyakkkk banget sekaligus. Chat Line kurang lebih ada 6000-an, dan
missed call ada puluhan. Isinya semua pada nanyain kabar apakah aku baik-baik
aja, mungkin karena teman-temanku tau update-an terakhirku yang menyebutkan aku
pergi ke Gunung Lawu lalu kemudian mereka mendengar berita kebakaran itu.
Bahkan aku sempat membaca di salah satu grup, mereka mengadakan doa bersama
untukku. Hahaha, terharu! Tapi justru yang aku heran, Mamiku malah kayaknya sama
sekali nggak khawatir deh. Aku sampai sengaja nggak angkat telpon, karena ingin
lihat apakah dia khawatir atau enggak. Dia cuma nanya, apakah aku sudah turun
atau belum. Ketika aku angkat telponnya, beginilah percakapannya;
Mami : Halo Kak? Udah turun ya?
Aku : Iya, barusan aja turun. Ini baru ada sinyal. Gunung Lawu
kebakaran Mi.
Mami : Iya, udah tau. Tadi temen-temen Mami pada nelpon nanyain Kakak,
katanya liat berita gunung Lawu kebakaran. Tapi kalo sudah turun, ya sudah.
Aku : Mami kok nggak khawatir sih?! Temen-temen Kakak aja rame
banget ini ngehubungin semua pada khawatir.
Mami : Tadi Mami coba telpon nomer Kakak udah aktif, berarti udah ada
sinyal dan udah turun. Berarti kan aman….
Aku : Hmmm, yaudah.
Buat yang belum tau kejadian ini,
di bawah aku sertakan link berita Musibah Kebakaran Lawu Oktober 2015. Waktu
itu sampai beberapa hari masih ramai jadi pembahasan di berita dan banyak juga
yang jarkom foto-foto mengenaskan korban. Inilah kenapa perjalanan ini aku
bilang berbeda dari perjalanan yang lain. Karena ini pertama kalinya aku
melihat sendiri gimana suasana dan merindingnya ketika turun gunung kemudian
melihat banyak mobil ambulans yang menyambut.
Selanjutnya, aku mengalami lagi
kejadian yang hampir serupa di Gunung Semeru. Disitu aku ngeliat sendiri korban
meninggal dan korban hilang sekaligus. Bakal aku ceritain di next episode, stay
tune!
Makasih banyak udah mau baca. Salam lestari!
Cheers,
Link berita:
Comments
Post a Comment